Sabtu, 26 Maret 2011

Makalah PPOK


PPOK

Defenisi :
Dalam Global initiative for chronic dalam obstructive lung disease yang disponsori WHO .
PPOK adalah keadaan penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan aliran udara biasanya progresif dan berhubungan dengan respon peradangan yang abnormal dari paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya.
Di masa lalu banyak yang menyebut PPOK termasuk penyakit berikut :
·         Bronkitis kronis
Batuk disertai sputum setiap hari selama tidaknya 3 bulan dalam setahun selama palinga sedikit 2 tahun berturut-turut.
·         Emfisema
Pembesaran rongga di sebelah distal bronkiolus terminal (terkecil) disertai perubahan dekstruktif pada dinding alveolar. Pada emfisema sentrilobular, kerusakan terbatas pada bagian sentral lobulus di sekitar bronkiolus respiratorius, sedangkan pada emfisema parasinar, terdapat kerusakan dan pelebaran seluruh lobulus.
·         Penyakit Saluran Napas Obstruktif Kronis
·         Keterbatasan aliran udara kronis
·         Keterbatasan aliran udara yang tidak pulih juga bisa terjadi pada bronkiektasis, fibrosis kistik, tuberculosis, dan sebagian kasus asma kronis.

Patogenesis

Terjadi peradangan kronis di seluruh saluran pernapasan dan vaskulatur paru. Dalam trakea, bronki, dan bronkioli yang berdiameter > 2-4 mm, sel-sel radang menginfiltrasi epitel permukaan dan terjadihipersekresi akibat pembesaran kelenjar yang mensekresi mucus dan bertambahnya jumlah sel goblet. Dalam bronki dan bronkioli yang kecil dengan diameter internal < 2mm, peradangan kronis berhubungan dengan remodeling dinding saluran napas, disertai bertambahnya kolagen dan jaringan parut, penyempitan lumen dan menyebabkan obstruksi saluran napas yang menetap.
Destruksi parenkim paru secara khas terjadi dalam bentuk emfisema sentrilobular. Pada kasus yang ringan, lesi biasanya mengenai region paru bagian atas, namun pada penyakit yang lanjut bisa terjadi difus diseluruh bagian paru. Perubahan vascular terjadi pada stadium dini. Penebalan intima dinding pembuluh darah diikuti oleh proliferasi otot polos dan infiltrasi sel radang. Perubahan patologis ini menimbulkan perubahan fisiologis yang khas. Hipersekresi mucus dan disfungsi silia menyebabkan batuk produktif yang kronis. Keterbatasan aliran udara, hiperinflasi, dan abnormalitas pertukaran udara menyebabkan sesak nafas. Hipertensi pulmonal dan kor pulmonal adalah tanda-tanda lanjut.

Faktor Etiologi
·         Merokok
Peningkatan resiko mortalitas akibat bronchitis hampir berbanding lurus dengan jumlah rokok yang dihisap setiap hari (peningkatan resiko = ½ x Jumlah batang rokok yang dihisap perhari)
·         Polusi Atmosfer
·         Defisiensi 1-antitripsin
Gangguan resesif yang terjadi pada sekitar 5% pasien emfisema (dan sekitar 20% dari kolestasis neonatorum)
·         Terdapat hubungan dengan kelas sosial yang lebih rendah dan lingkungan industry

Manifestasi Klinis
Pada awalnya, pasien mengalami batuk produktif di pagi hari dan peningkatan infeksi frekuensi infeksi saluran pernapasan bawah yang menghasilkan sputum purulen. Organisme penyebab biasanya adalah Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan virus saluran pernapasan. Selama bertahun-tahun terjadi sesak progresif lambat disertai mengi, yang semakin hebat pada episode infeksi akut. Terjadi emfisema klinis disertai hiperinflasi paru. Gagal napas dan gagal jantung kanan kronis adalah komplikasi jangka panjang.

Pemeriksaan Penunjang
·         Tes Fungsi Paru
PPOK ditegakkan dengan spirometri, yang menunjukkan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik < 80% nilai yang diperkirakan, dan rasio FEV1 : kapasitas vital paksa < 70 %. Laju aliran ekspirasi puncak menurun. Obstruksi saluran napas hanya reversible sebagian bila diterapi dengan bronkodilator (atau obat lain).
·         Rontgen Thoraks
Abnormalitas berhubungan dengan adanya emfisema dan disebabkan oleh :
Ø  Overinflasi disertai diafragma yang rendah, datar, sulit bergerak, dan jendela retrosternal yang besar pada rontgen thoraks lateral
Ø  Perubahan vascular disertai hilangnya corakan vascular perifer namun pembuluh hilum yang membesar-jantung menyempit sampai terjadi kor pulmonal
Ø  Bula jika ada
Bula adalah rongga udara > 1 cm
·         Pemeriksaan analisis gas darah
Pada stadium lanjut PO2 turun dan PCO2 naik, khususnya pada keadaan eksaserbasi
·         EKG
Mencatat ada tidaknyaserta perkembangan kor pulmonal ( hipertrofi atrium dan ventrikel kanan)
·         Sputum untuk kultur bakteri dan sensitivitas
Berguna dalam episode infeksi akut di mana mungkin terjadi infeksi selain oleh Haemophilus influenzae atau Sterptococcus pneumoniae
·         Pemeriksaan hemoglobin
Menunjukkan polistemia sekunder

Penatalaksanaan
Penatalksanaan harus mencakup pemeriksaan dan pengurangan faktor reiko selain penatalaksanaa PPOK yang stabil maupun  eksaserbasi. Harus ada peningkatan bertahap pada pengobatan sesuai dengan keparahan penyakit, yang bisa dikelompokkan sebagai berikut :
·         Stadium 0 (beresiko)
Spirometri normal ; Batuk atau sputum kronis
·         Stadium 1 (ringan)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 =80 %, dengan atau tanpa gejala
·         Stadium 2 (sedang)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan 30% <FEV1 <80 %, dengan atau tanpa gejala
·         Stadium 3 (berat)
FEV1 : FVC < 70% ; Perkiraan FEV1 <30 % atau FEV1 < 50 % + gagal napas atau tanda klinis gagal jantung kanan

Pasien mendapat manfaat dari program rehabilitasi dan olahraga. Pendidikan bisa membantu pasien mengatasi dan mencapai tujuan tertentu, termasuk berhenti merokok. Tak ada satu pun pengobatan yang tersedia untuk PPOK yang terbukti mengubah penurunan fungsi paru dalam jangka panjang.
Bronkodilator digunakan untuk mencegah atau mengurangi gejala : agonis1, misalnya salbutamol (Ventolin), terbutalin (Bricanyl), obat antikolinergik ipratopium (Atrovent), atau gabungan obat-obat tersebut diberikan melalui aerosol dengan pengukur atau nebulizer sesuai kebutuhan atau secara teratur. Teofilin juga bisa membantu.
Pengobatan rutin dengan steroid inhalasi bisa memberi manfaat bagi pasien yang simptomatik disertai respon spirometrik tercatat terhadap steroid, atau mengalami eksaserbasi berulang yang memerlukan pengobatan dengan antibiotic atau steroid oral. Pengobatan jangka panjang dengan steroid sistemik harus dihindari.
Eksaserbasi diobati dengan bronkodilator inhalasi, teofilin dan steroid sistemik adalah pengobatan yang efektif.


 Tumor Paru
Karsinoma Bronkogenik
Karsinoma bronkogenik ( karsinoma bronkus) adalah penyebab nomor satu kematian akibat kanker di negara industry. Insiden puncak kanker paru terjadi pada usia antara 55 sampai 65 tahun. Perbandingan laki-laki terhadap perempuan adalah 2:1. Prognosis kanker paru buruk : angka kesintasan 5 tahun untuk semua stadium kanker paru yang digabungkan adalah sekitar 14%; bahkan pasien dengan penyakit terbatas di paru memiliki angka kesintasan 5 tahun hanya sekitar 45%.
Prinsip umum yang mendasari klasifikasi kanker paru :
·         Untuk tujuan pengobatan
Karsinima bronkogenik diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar : karsinoma paru sel kecil (SCLC) dan karsinoma paru non sel kecil (NSCLC). Kategori yang terakhir mencakup karsinoma sel skuamosa, adeno karsinoma, dan karsinoma sel besar tak – berdiferensiasi.
·         Hampir semua SCLC telah bermetastasis saat diagnosis sehingga bukan kandidat untuk pembedahan kuratif. Oleh karena itu, tumor ini sebaiknya diterapi dengan kemoterapi, dengan atau tanpa radiasi.
Sebaliknya NSCLC biasanya kurang berespon terhadap kemoterapi dan sebaiknya ditangani secara bedah.
·         Perbedaan genetic antara SCLC dan NSCLC.
SCLC ditandai dengan frekuensi tinggi mutasi gen TP53 dan RB, sedangkan p16/CDKN2A sering mengalami inaktivasi pada NSCLC. Mutasi yang mengaktifkan onkogen K-RAS hampir hanya terjadi pada adenokarsinoma dalam kelompok NSCLC dan jarang pada SCLC.
Klasifikasi histologik karsinoma bronkogenik dan perkiraan insidensi
·         Karsinoma paru non sel kecil (NSCLC) (70%-75%)
1.      Karsinoma sel skuamosa (epidermoid) (25%-30%)
2.      Adenokarsinoma, termasuk karsinoma bronkioloalveolus (30%-35%)
3.      Karsinoma sel besar (10%-15%)
·         Karsinoma paru sel kecil (SCLC) (20-25%)
·         Pola kombinasi (5%-10%)
Paling sering
Campuran karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma
Campuran karsinoma sel skuamosa dan SCLC

Perbandingan SCLC dan NSCLC


SCLC
NSCLC
Histologi
Sitoplasma sedikit; nucleus kecil hiperkromatik dengan pola kromatin halus; nucleolus tidak jelas; lembaran-lembaran sel yang difus
Sitoplasma banyak; nucleus pleomorfik dengan pola kromatin kasar; nucleolus sering mencolok; arsitekstur glandular atau skuamosa
Penanda neuroendokrin
Biasanya ada
Biasanya tidak ada
Penanda epitel
Ada
Ada
Musin
Tidak ada
Ada pada adenokarsinoma
Pembentukan hormon peptida
Hormon adrenokorteks; hormone antidiuretik; peptide pelepas gastrin; kalsitonin
Parathyroid hormone-related peptide (PTH-rp)
Delesi 3p
>90%
>80%
Mutasi RB
Sekitar 90%
Sekitar (20%)
Mutasi p16/CDKN2A
Sekitar 10%
>50%
Mutasi TP53
>90%
>50%
Mutasi K-RAS
<1%
Sekitar 30% (adenokarsinoma)
Ekspresi berlebihan family MYC
>50%
>50%
Respon terhadap kemoterapi dan radioterapi
Sering respon tuntas
Jarang respon tuntas


Etiologi dan Patogenesis
Karsinoma bronkogenik muncul melalui akumulasi bertahap kelainan genetic yang menyebabkan transformasi epitel bronkus jinak menjadi jaringan neoplastik. Rangkaian perubahan molecular tidak bersifat acak, tetapi mengikuti suatu sekuensi yang sejajar dengan perkembangan histologik menjadi kanker. Contoh, inaktivasi gen penekan tumor yang terletak di 3p merupakan kejadian paling awal, sedangkan mutasi TP53 atau pengaktifan onkogen K-RAS relative terjadi belakangan. Tampaknya perubahan geneti tertentu, seperti hilangnya bahan kromosom 3p dapat ditemukan bahkan pada epitel bronkus jinak pasien kanker paru, serta di epitel pernapasan perokok yang tidak mengidap kanker paru, yang mengisyaratkan bahwa pajanan ke karsinogen menyebabkan mukosa pernapasan secara luas mengalami mutangenesi (fiels effect, efek lapangan). Di lahan yang subur ini, sel yang mengakumulasi mutasi lain akhirnya akan berkembang menjadi kanker.
Secara statistic, sekitar 90% kanker paru terjadi pada perokok aktif atau mereka yang baru berhenti. Terdapat korelsi linear antara frekuensi kanker paru dan jumlah bungkus-tahun merokok. Peningkatan resiko menjadi 60 kali lebih besar pada perokok berat (dua bungkus sehari selama 20 tahun) dibandingkan dengan bukan perokok. Meskipun berhenti merokok menurunkan resiko terjadinya kanker paru seiring dengan waktu, resiko tersebut tidak pernah kembali ke level dasar. Perubahan genetic yang mendahului kanker paru dapat menetap selama bertahun-tahun di epitel bronkus bekas perokok. Merokok pasif ( berada dekat dengan perokok) meningkatkan resiko menderita kanker paru hingga mendekati dua kali lipat dibandingkan dengan bukan perokok.
Bukti klinis terutama berupa pembuktian adanya perubahan progresif di epitel yang melapisi saluran napas pada perokok kronis. Perubahan sekuensial ini paling jelas pada karsinoma sel skuamosa. Pada hakikatnya, terdapat korelasi linear antara intensitas pajanan kea sap rokok dan munculnya perubahan epitel yang semakin mengkhawatirkan yang dimulai dengan hyperplasia sel basal yang relative tidak membahayakan dan metaplasia skuamosa dan berkembang menjadi dysplasia skuamosa dan karsinoma in situ, sebelum memuncak menjadi karsinoma invasive. Diantara berbagai subtype histologik kanker paru, karsinoma sel skuamosa dan karsinoma sel kecil memperlihatkan keterkaitan paling kuat dengan pajanan tembakau.
Meskipun terdapat fakta bahwa merokok dan faktor lingkungan lain sangat penting untuk timbulnya kanker paru, diketahui bahwa tidak semua orang yang terpajan asap rokok menderita kanker. Sangat mungkin bahwa efek mutagenic karsinogen dikondisikan oleh faktor herediter genetic. Ingatlah bahwa banyak zat kimia (prokarsinogen) memerlukan pengaktifan metabolic melalui system enzim p-450 monooksigenase untuk berubuh menjadi karsinogen. Terdapat bukti bahwa orang dengan polimorfisme genetic tertentu yang melibatkan gen p-450 memilki kapasitas besar memetabolisme prokarsinogen yang berasal dari asap rokok sehingga secara logis memilki resiko tertinggi terjangkit kanker paru. Demikian juga, orang yang limfosit darah perifernya mengalami kerusakan kromosom setelah terpajan karsinogen terkait tembakau (genotype sensitivitas mutagen)memilki resiko menderita kanker paru lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan dengan control.       


Daftar Pustaka
Rubenstein, David et al. 2007. Lecture Notes Kedokteran Klinis. Edisi 6. Erlangga. Jakarta
Robbins, Stanley L et al. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7. Volume 2. EGC. Jakarta




Demam berdarah - Makalah



 
BAB I
PENDAHULUAN





A.    Latar Belakang
                      Demam berdarah dengue, istilah kedokterannya Dengue Hemorrhagik Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Dengue tipe 1-4, dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti betina (dominan) dan beberapa spesies Aedes lainnya. Di Indonesia sendiri, keempat tipe virus Dengue dapat ditemukan, dan yang dihubungkan dengan gejala DHF yang parah adalah tipe 3. Kekebalan (imunitas) terhadap satu jenis virus tidak berlaku untuk infeksi jenis virus lainnya, bahkan dapat menimbulkan reaksi yang kurang menguntungkan bagi tubuh. Jumlah kasus DHF utamanya meningkat pada musim hujan dimana sumber air bersih bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes tersedia dimana-mana, jika tidak dilakukan program pembersihan lingkungan yang baik.
                      Gejala yang tampak akibat infeksi virus dengue biasanya muncul setelah masa inkubasi (masa dimana virus berkembang hingga menimbulkan gejala) 3-8 hari setelah virus masuk ke dalam tubuh. Jika sistem pertahanan tubuh dapat mengatasi virus, maka gejala yang tampak bisa ringan atau bahkan tidak didapatkan.
                      Adapun penanganan ataupun pengobatan DHF sesungguhnya bersifat suportif dan simtomatik, artinya tidak memerlukan obat untuk kausanya (seperti antivirus). Yang paling ditekankan adalah nutrisi dan hidrasi alias makan dan minum yang cukup. Lebih ditekankan untuk minum yang banyak, untuk mengatasi efek kebocoran plasma darah dan meningkatkan jumlah trombosit.

B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis membatasi permasalahan sesuai dengan pokok permasalahan yaitu “penyakit DHF”.



1
 
 

C.     Tujuan Penulisan
Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah  dan untuk menambah wawasan / khazanah keilmuan khususnya mengenai seputar keperawatan serta untuk mengetahui lebih jauh tentang penyakit  DHF.

D.     Manfaat Penulisan
Diharapkan dengan membaca makalah ini dapat memahami mengerti dan memahami cara penanganan penyakit DHF

E.     Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah, metode yang digunakan yaitu menggunakan media elektronika dan literatur yang sesuai dengan makalah ini.



BAB II

 
KONSEP PENYAKIT

A.    PENGERTIAN
Demam Berdarah Dengue atau Dengue Hemorragic Fever (DHF) adalah sebuah sindrom jinak yang disebabkan oleh beberapa virus yang dibawa oleh arthopoda, ditandai dengan demam bifasik, mialgia atau artalgia, leukopenia, dan limfadenopati. Demam dengue sekarang adalah endemik di Asia Tropik, Pulau Pasifik Selatan, Australia Utara, Afrika Tropik, Karibia, dan di Amerika Tengah dan Selatan.Penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut.

B.     ETIOLOGI
Sekurang-kurangnya ada empat tipe antigenik virus dengue yang berbeda. Lagipula, tiga virus yang dibawa arthopoda (arbo) lain menyebabkan penykit demam serupa atau identik ruam. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke II, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap in aktivitas oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70oC. Keempat serotif tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotif ke 3 sebagai serotif yang paling banyak.

C.    PATOFISIOLOGI
3
 
Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler. Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai faktor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.
Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.
Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah , menurunnya volume plasma , terjadinya hipotensi , trombositopenia dan diathesis hemorrhagic , renjatan terjadi secara akut. Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Jika renjatan atau syok hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi. Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian. Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.

D.    EPIDEMOLOGI
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk famili Stegomyia, aedes aegypti, nyamuk penggigit siang hari, adalah vektor utama, dan semua empat tipe virus lain telah ditemukan darinya. Virus dengue telah juga ditemukan dari aedes albopictus, dan wabah di daerah pasifik telah dianggap berasal dari beberapa spesies aedes lain. Kebanyakan penyakit terjadi pada anak yang lebih tua dan orang dewasa. Karena aedes aegypti mempunyai kisaran terbatas, penyebaran epidemi terjadi terutama melalui manusia viremia dan mengikuti jalan-jalan transportasi utama. Pada tempat-tempat sengue endemik, anak-anak dan orang asing yang rentan mungkin merupakan satu-satunya orang yang mendapat penyakit secara nyata, orang dewasa telah mendapat imun. Penyakit seperti dengue dapat terjadi pada daerah epidemi.

E.     MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi bervariasi menurut umur dan dari penderita ke penderita. Pada bayi dan anak kecil (muda) penyakit mungkin tidak terdiferensiasi atau ditandai oleh demam 1-5 hari, radang faring, rhinitis, dan batuk ringan. Pada wabah yang sebagian besar terinfeksi adalah anak yang lebih tua dan orang dewasa mempunyai tanda-tanda yang diuraikan berikut ini. Sesudah masa inkubasi 1-7 hari, ada demam yang mulai mendadak, yang dengan cepat naik sampai 39,4-41,1oC, biasanya disertai dengan nyeri frontal atau retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otot-otot sekitar mata terasa pegal.Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah). Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (6 – 12 jam sebelum suhu naik pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang berlangsung selama beberapa jam dan biasanya tidak diperhatikan oleh pasien. Ruam berikutnya mulai antara hari 3 – 6, mula – mula berbentuk makula besar yang kemudian bersatu mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia. Pada dasarnya hal ini terlihat pada lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis, epistaksis. Juga kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda : anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan lembab, denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg atau kurang.

F.     KOMPLIKASI
Adapun komplikasi dari penyakit demam berdarah diantaranya :
a.       Perdarahan luas.
b.      Shock atau renjatan.
c.       Effuse pleura.
d.      Penurunan kesadaran.

G.    KLASIFIKASI
Pembagian tingkatan atau derajat keparahan penyakit dapat digolongkan dalam empat derajat.
a)      Derajat I :
Demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji turniket positi, trombositopeni dan hemokonsentrasi.
b)      Derajat II :
Manifestasi klinik pada derajat I dengan manifestasi perdarahan spontan di bawah kulit seperti peteki, hematoma dan perdarahan dari lain tempat.

c)      Derajat III :
Manifestasi klinik pada derajat II ditambah dengan ditemukan manifestasi kegagalan system sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, hipotensi dengan kulit yang lembab, dingin dan penderita gelisah.
d)     Derajat IV :
Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan ditemukan manifestasi renjatan yang berat dengan ditandai tensi tak terukur dan nadi tak teraba.

H.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Diagnostik Laboratorium
a)      Darah
Hasil yang didapat dari pemeriksaan darah antara lain adalah:
1)      Trombosit menurun.
Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang)
2)      HB meningkat lebih 20 %
Hemokonsentrasi yang dapat dilihat
3)      HT meningkat lebih 20 %
Meningginya nilai hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nilai hematokrit pada masa konvalesen.
4)      Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3
5)      Protein darah rendah
6)      Ureum PH bisa meningkat
7)      NA dan CL rendah
Untuk lebih meyakinkan diagnosa, maka dilakukan tes Serology : HI (hemaglutination inhibition test).
b)      Pemeriksaan radiologi
c)      Rontgen thorax : Efusi pleura.
d)     Pemeriksaan fisik (rumple leed test) Uji test tourniket (+)



I.       PENATALAKSANAAN
a.       Tirah baring
b.      Pemberian makanan lunak .
c.       Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam)
Minuman dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
d.      Pemberian cairan melalui infus.
Pemberian cairan intra vena (biasanya ringer lactat, nacl) ringer lactate merupakan cairan intra vena yang paling sering digunakan , mengandung Na + 130 mEq/liter , K+ 4 mEq/liter, korekter basa 28 mEq/liter , Cl 109 mEq/liter dan Ca = 3 mEq/liter.
e.       Pemberian obat-obatan :
Antibiotic, pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder antipiretik. Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen Anti konvulsi jika terjadi kejang
f.       Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
g.      Monitor adanya tanda-tanda renjatan
h.      Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut
i.        Periksa HB,HT, dan Trombosit setiap hari.
Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB. Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.
Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok. Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam. Cara pemberian sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua. Infus diberikan pada pasien DBD tanpa renjatan apabila :
1.      Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya dehidrasi.
2.      Hematokrit yang cenderung mengikat.

J.      PENCEGAHAN
Pencegahan penyebaran penyakit DHF yang tepat akan membantu mengurangi jumlah penderita dan mencegah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB). Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut :
a.       Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF.
b.      Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan.
c.       Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah, rumah sakit termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
d.      Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi penularan tinggi.
Ada 2 macam pemberantasan vektor antara lain :
1)      Menggunakan insektisida.
Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.
2)      Tanpa insektisida
Caranya adalah :
a)      Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan telur nyamuk lamanya 7 – 10 hari).
b)      Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
c)      Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.



























BAB III

 
ASUHAN KEPERAWATAN

Dalam asuhan keperawatan digunakan pendekatan proses keperawatan sebagai cara untuk mengatasi masalah klien. Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu: pengkajian keperawatan (identifikasi, analisa masalah/data) diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.

A.    PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian : wawancara, pemeriksaan (fisik, laboratorium, rontgen), observasi, konsultasi.
a.       Data subyektif
Adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga pada pasien DHF, data obyektif yang sering ditemukan menurut Christianti Effendy, 1995 yaitu :
1)   Lemah.
2)   Panas atau demam.
3)   Sakit kepala.
4)   Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.
5)   Nyeri ulu hati.
6)   Nyeri pada otot dan sendi.
7)   Pegal-pegal pada seluruh tubuh. Konstipasi (sembelit).
b.      Data obyektif
Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi pasien. Data obyektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain:
1)   Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan.
11
 
2)   Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor.
3)   Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis, hematoma, hematemesis, melena.
4)   Hiperemia pada tenggorokan.
5)   Nyeri tekan pada epigastrik.
6)   Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa.
7)   Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.
c.       Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan DHF akan dijumpai
1)   Ig G dengue positif.
2)   Trombositopenia.
3)   Hemoglobin meningkat > 20 %.
4)   Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat).
5)   Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.
Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofil.
1)      SGOT/SGPT mungkin meningkat.
2)      Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
3)      Waktu perdarahan memanjang.
4)      Asidosis metabolik.
5)      Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.

B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF menurut Christiante Effendy, 1995 (Harnawati, 2008) yaitu :
1.      Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
2.      Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
3.      Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
4.      Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
5.      Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
6.      Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.
7.      Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan infus).
8.      Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
9.      Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.

C.    PERENCANAAN KEPERAWATAN
Perencanaan keperawatan disusun berdasarkan diagnosa yang ditemukan dan merencanakan rencana tindakan berdasarkan kebutuhan pasien.
1.      Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
Tujuan :
a)      Suhu tubuh normal (36 – 370C).
b)      Pasien bebas dari demam.
Intervensi :
1)      Kaji saat timbulnya demam.
Rasional : untuk mengidentifikasi pola demam pasien.
2)      Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam.
Rasional : tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
3)      Anjurkan pasien untuk banyak minum ( 2,5 liter/24 jam.±7)
Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.
4)      Berikan kompres hangat.
Rasional : Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan suhu tubuh.
5)      Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.
Rasional : pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh.
6)      Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.
Rasional : pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.
2.      Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
Tujuan :
a.       Rasa nyaman pasien terpenuhi.
b.      Nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
1)      Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien
Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.
2)      Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri
3)      Alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.
Rasional : Dengan melakukan aktivitas lain pasien dapat melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami.
4)      Berikan obat-obat analgetik
Rasional : Analgetik dapat menekan atau mengurangi nyeri pasien.
3.      Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
Tujuan :
a.       Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan posisi yang diberikan /dibutuhkan.
Intervensi :
1)      Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya.
2)      Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
Rasional : Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien.
3)      Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
Rasional : Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan .
4)      Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional : Untuk menghindari mual.
5)      Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
Rasional : Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi
6)      Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.
Rasional : Antiemetik membantu pasien mengurangi rasa mual dan muntah dan diharapkan intake nutrisi pasien meningkat.
7)      Ukur berat badan pasien setiap minggu.
Rasional : Untuk mengetahui status gizi pasien
4.      Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
Tujuan :
a.    Volume cairan terpenuhi.
Intervensi :
1)     Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda vital.
      Rasional : Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya.
2)     Observasi tanda-tanda syock.
      Rasional : Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani syok.
3)     Berikan cairan intravena sesuai program dokter
      Rasional : Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang mengalami kekurangan cairan tubuh karena cairan tubuh karena cairan langsung masuk ke dalam pembuluh darah.
4)     Anjurkan pasien untuk banyak minum.
      Rasional : Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh.
5)     Catat intake dan output.
      Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan.
5.      Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
Tujuan :
a.       Pasien mampu mandiri setelah bebas demam.
b.      Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi
Intervensi :
1)      Kaji keluhan pasien.
Rasional : Untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien.
2)      Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat ketergantungan pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
3)      Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai tingkat keterbatasan pasien.
Rasional : Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh pasien pada saat kondisinya lemah dan perawat mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien tanpa mengalami ketergantungan pada perawat.
4)      Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh pasien.
Rasional : Akan membantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain.
6.      Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh
Tujuan :
a.       Tidak terjadi syok hipovolemik.
b.      Tanda-tanda vital dalam batas normal.
c.       Keadaan umum baik.
Intervensi :
1)       Monitor keadaan umum pasien
Rasional : memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan dapat segera ditangani.
2)       Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.
Rasional : tanda vital normal menandakan keadaan umum baik.
3)       Monitor tanda perdarahan.
Rasional : Perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai syok hipovolemik.
4)       Chek haemoglobin, hematokrit, trombosit
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut.
5)       Berikan transfusi sesuai program dokter.
Rasional : Untuk menggantikan volume darah serta komponen darah yang hilang.
6)       Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik.
Rasional : Untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera mungkin.
7.      Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (infus).
Tujuan :
a.    Tidak terjadi infeksi pada pasien.
Intervensi :
1)      Lakukan teknik aseptik saat melakukan tindakan pemasangan infus.
Rasional : Tindakan aseptik merupakan tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadi infeksi.
2)       Observasi tanda-tanda vital.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien, terjadi peradangan dapat diketahui dari penyimpangan nilai tanda vital.
3)       Observasi daerah pemasangan infus.
Rasional : Mengetahui tanda infeksi pada pemasangan infus.
4)      Segera cabut infus bila tampak adanya pembengkakan atau plebitis.
Rasional : Untuk menghindari kondisi yang lebih buruk atau penyulit lebih lanjut.

8.      Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
Tujuan :
a.    Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
b.    Jumlah trombosit meningkat.
            Intervensi :
1)      Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.
Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh darah.
2)      Anjurkan pasien untuk banyak istirahat
Rasional : Aktivitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perdarahan.
3)      Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut.
Rasional : Membantu pasien mendapatkan penanganan sedini mungkin.
4)      Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya.
Rasional : Memotivasi pasien untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan.
9.      Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.
Tujuan :
a.       Kecemasan berkurang.
Intervensi :
1)  Kaji rasa cemas yang dialami pasien.
Rasional : Menetapkan tingkat kecemasan yang dialami pasien.
2)  Jalin hubungan saling percaya dengan pasien.
Rasional : Pasien bersifat terbuka dengan perawat.
3)  Tunjukkan sifat empati
Rasional : Sikap empati akan membuat pasien merasa diperhatikan dengan baik.
4)  Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional : Meringankan beban pikiran pasien.
5)  Gunakan komunikasi terapeutik
Rasional : Agar segala sesuatu yang disampaikan diajarkan pada pasien memberikan hasil yang efektif.

D.    IMPLEMENTASI
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien anak dengan DHF disesuaikan dengan intervensi yang telah direncanakan.

E.     EVALUASI KEPERAWATAN.
Hasil asuhan keperawatan pada klien anak dengan DHF sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada pasien.
1.      Adapun sasaran evaluasi pada pasien demam berdarah dengue sebagai berikut :
a.       Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.
b.      Pasien akan mengungkapkan rasa nyeri berkurang.
c.       Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan atau dibutuhkan.
d.      Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi.
e.       Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.
f.       Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda vital dalam batas normal.
g.      Infeksi tidak terjadi.
h.      Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut.
i.        Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses penyakitnya.





BAB IV
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dengue Hemorragic Fever (DHF) disebabkan oleh beberapa virus yang dibawa oleh arthopoda. Penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus.
Pemberian asuhan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien akan sangat membantu proses penyembuhan dan mengurangi derajat kecemasan pada keluarga. Dengan melakukan pengkajian, maka akan diperoleh data yang akan menunjang masalah pasien. Perumusan diagnosis yang tepat akan membantu dalam merumuskan perencanaan keperawatan. Dalam menentukan dan menyusun intervensi keperawatan, harus didasarkan pada kebutuhan pasien yang sangat mendesak. Implementasi keperawatan harus sesuai dengan rencana intervensi yang telah ditetapkan. Evaluasi keperawatan dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan asuhan keperawatan yang diberikan.

B.     Saran
Fokus utama pada masalah demam berdarah adalah pencegahan. Pembenahan kebersihan lingkungan sekitar kita akan membantu proses pencegahan terjadinya Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue. Dengan lingkungan bersih, maka akan tercipta hidup sehat tanpa adanya penyakit baik DBD maupun penyakit lainnya.










 
DAFTAR PUSTAKA





Nelson, Waldo E. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 vol 2. Jakarta: EGC


























 
 


 
web of cause


                                           Infeksi Virus Dengue                Perbanyak diri di hepar
                          Terbentuk komplek antigen-antibodi                  Hepatomegali
                                      Mengaktivasi sistem komplemen                 Mual-Muntah
PGE2 Hipotalamus            Dilepaskan C3a dan C5a (peptida)    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
                                                Melepaskan histamin
Peningkatan suhu              Permeabilitas membran meningkat
         tubuh                                    Kebocoran plasma
                                                           Hipovolemia                                                          
                                         Renjatan hipovolemi dan hipotensi     Kerusakan endotel
                                                                                                         pembuluh darah
     Kekurangan volume cairan
Agregasi Trombosit
Ke ekstravaskuler                         Trombositopenia                 Merangsang dan Mengaktivasi faktor pembekuan


 

Efusi pleura dan asites                                                        Dalam jangka waktu lama menurun dan terjadi DIC
Gangguan pertukaran gas                 Perdarahan
     Intoleransi activity              Gangguan perfusi jaringan    
                                                      Hipoksia jaringan   
                                                                                  Asidosis  Metabolik                    Kematian









 
 


 
Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan menimbulkan virtemia. Hal tersebut menyebabkan pengaktifan complement sehingga terjadi komplek imun Antibodi – virus pengaktifan tersebut akan membetuk dan melepaskan zat (3a, C5a, bradikinin, serotinin, trombin, Histamin), yang akan merangsang PGE2 di Hipotalamus sehingga terjadi termo regulasi instabil yaitu hipertermia yang akan meningkatkan reabsorbsi Na+ dan air sehingga terjadi hipovolemi. Hipovolemi juga dapat disebabkan peningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran palsma. Adanya komplek imun antibodi – virus juga menimbulkan Agregasi trombosit sehingga terjadi gangguan fungsi trombosit, trombositopeni, coagulopati. Ketiga hal tersebut menyebabkan perdarahan berlebihan yang jika berlanjut terjadi shock dan jika shock tidak teratasi terjadi Hipoxia jaringan dan akhirnya terjadi Asidosis metabolik. Asidosis metabolik juga disebabkan karena kebocoran plasma yang akhirnya tejadi perlemahan sirkulasi sistemik sehingga perfusi jaringan menurun jika tidak teratasi terjadi hipoxia jaringan.
Masa virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus hanya dapat hidup dalam sel yang hidup, sehingga harus bersaing dengan sel manusia terutama dalam kebutuhan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan tubuh manusia.sebagai reaksi terhadap infeksi terjadi (1) aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilaktosin yang menyebabkan peningkatan permiabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskular ke ekstravaskular, (2) agregasi trombosit menurun, apabila kelainan ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibatnya akan terjadi mobilisasi sel trombosit muda dari sumsum tulang dan (3) kerusakan sel endotel pembuluh darah akan merangsang atau mengaktivasi faktor pembekuan.
Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan (1) peningkatan permiabilitas kapiler; (2) kelainan hemostasis, yang disebabkan oleh vaskulopati; trombositopenia; dan kuagulopati (Arief Mansjoer &Suprohaita; 2000; 419).




 

MAKALAH

 
DENGUE HAEMORHAGIC FEVER (DHF)




 
KATA PENGANTAR

            Puji Syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Makalah ini penulis susun untuk memenuhi tugas mata kuliah dengan judul Dengue haemorhagic fever (DHF)”  di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi.

            Dalam penyusunan makalah ini penulis juga memperoleh bantuan, dorongan serta pengarahan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1)   Bapak Drs.H. Soekardjo, S.Kep, MM      selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi
2)   Rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan serta bantuan dalam menyelesaikan makalah ini.

            Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, kelemahan, serta keterbatasan. Untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun guna kemajuan dari makalah ini.

Banyuwangi,     Oktober  2010

Penulis




ii
 

DAFTAR ISI

 
 

Halaman Judul ................................................................................................         i
Kata Pengantar ...............................................................................................        ii
Daftar Isi ..........................................................................................................        iii

BAB I       PENDAHULUAN ........................................................................        1
                  A.    Latar Belakang ........................................................................        1
                  B.    Rumusan Masalah ...................................................................        1
                  C.    Tujuan Penulisan .....................................................................        2
                  D.    Manfaat Penulisan ..................................................................        2
                  E.     Metode Penulisan ...................................................................        2

BAB II      KONSEP PENYAKIT .................................................................        3
                  A.    Pengertian ...............................................................................        3
                  B.    Etiologi ...................................................................................        3
                  C.    Patofisiologi ............................................................................        3
                  D.    Epidemologi ............................................................................        5
                  E.     Manifestasi Klinis ...................................................................        5
                  F.     Komplikasi ..............................................................................        6
                  G.    Klasifikasi ...............................................................................        6
                  H.    Pemeriksaan Penunjang ..........................................................        7
                  I.      Penatalaksanaan.......................................................................        8
                  J.      Pencegahan .............................................................................        9

BAB III    ASUHAN KEPERAWATAN......................................................       11
                  A.    Pengkajian Keperawatan.........................................................       11
                  B.    Diagnosa Keperawatan ...........................................................       12
                  C.    Perencanaan Keperawatan ......................................................       13
                  D.    Implementasi ...........................................................................       19
                  E.     Evaluasi Keperawatan ............................................................       19

BAB IV    PENUTUP......................................................................................       20
                  A.    Kesimpulan..............................................................................       20
                  B.    Saran .......................................................................................       20

DAFTAR PUSTAKA


iii